
Juventus
Oleh Khalid
Apa yang paling bisa diingat dengan Juventus pada periode 1980-an? Michel Platini.
Pada pertengahan 1980-an, pusat dunia sepakbola ada di kaki Platini... dan Juventus. Keberhasilan Italia menjadi juara dunia 1982 ikut terbantu dengan periode keemasan Juve di bawah manajer legendaris, Giovanni Trapattoni.
Sejak bergabung pada 1976, Trapattoni mengubah Juve menjadi tim bermental juara yang ditakuti di Italia dan disegani di Eropa. Besar sebagai pemain bersama AC Milan, karir kepelatihan Mr.Trap malah berjaya bersama Si Nyonya Tua.
Setelah pensiun sebagai pemain, Trap melatih tim taruna Milan dan sempat menjadi pelatih sementara. Pada 1975, Trap dipercaya menangani tim inti Rossoneri. Namun semusim berikutnya, Trap hijrah ke Juve.
Pada musim pertamanya, Trap langsung tancap gas dan sukses merengkuh scudetto musim 1976/77. Sebagai tambahan, Juve dibawanya untuk kali pertama menjuarai Piala UEFA pada musim yang sama.
Skuad Juve pada masa itu adalah yang terbaik di Italia. Setengah dari skuad inti timnas Italia juara dunia 1982 adalah para punggawa Juve, antara lain Gaetano Scirea dan Paolo Rossi.
Sepanjang kiprahnya di Turin pada rentang 1976-1986, Trap mampu membawa Bianconeri enam kali menjuarai Serie A. Total 14 trofi dipersembahkan Trap selama bertugas sebagai manajer Juve. Salah satu yang menjadi penyempurna koleksi tersebut adalah gelar juara Piala Champions 1984/85.
Pada periode tersebut, Serie A diwarnai persaingan ketat antara Juve dengan AS Roma. Keduanya menjadi klub papan atas yang paling disegani pada awal 1980-an. Setelah menjuarai liga dua musim beruntun, 1981 dan 1982, Roma merebut gelar juara 1983 berkat keunggulan empat poin atas Juventus. Gelar tersebut merupakan scudetto kedua bagi Giallorossi sepanjang sejarahnya.
Musim yang sama, Juve harus berbagi konsentrasi karena tampil di Eropa. Juve sukses lolos ke partai puncak Piala Champions, namun hanya untuk ditaklukkan Hamburg SV, melalui gol tunggal Felix Magath. Padahal, sebelum partai final Juve tampil tak terkalahkan. Penawar kekecewaan Juve adalah gelar Piala Italia.
Musim berikutnya, 1983/84, pendulum kembali berputar. Roma serius di ajang Piala Champions dan Juve fokus ke Serie A. Nasib kedua tim semusim sebelumnya kembali terulang. Roma, yang dilatih manajer legendaris Nils Liedholm, lolos ke babak final menghadapi Liverpool. Partai final dimainkan di kandang Roma, stadion Olimpico, tapi Giallorossi harus takluk melalui adu penalti, 5-3 (1-1).
Sebulan sebelum Roma berlaga di final Piala Champions, langkah Juve meraih kembali scudetto kian nyata. Pada pekan ke-28 Serie A, Juve membukukan kemenangan penting, 2-1, atas Inter Milan untuk menjaga selisih empat poin dari Roma.
Saat itu, Serie A masih diikuti 16 tim dan memberlakukan sistem dua poin untuk setiap kemenangan. Juve hanya butuh satu poin untuk memastikan diri sebagai juara liga dan itu terwujud sepekan kemudian. Juve bermain imbang 1-1 melawan Avellino, sedangkan Roma tertahan 2-2 di kandang Catania.
Kesuksesan di Serie A juga ditandai dengan gelar Piala Winners. Platini, yang kian menyatu dengan Juventus, menjadi inspirasi penting saat memukul FC Porto 2-1 di final. Kegemilangan tersebut ditularkan Platini ke timnas Prancis yang dibawanya menjuarai Piala Eropa 1984 di negeri sendiri. Platini sukses menjadi topskor kejuaraan dengan rekor sembilan gol, plus dua kali hattrick ke gawang Belgia dan Yugoslavia.
Platini adalah sebuah anugerah bagi Juventus. Setelah memulai karir di AS Nancy dan berlanjut ke Saint Etienne, Platini mengundang minat banyak klub Eropa. Salah satunya adalah rival abadi Juve, Inter. Namun, Platini yang kerap bermasalah dengan cedera semasa berkarir di Prancis, dianggap Inter tidak terlalu tangguh untuk bermain di Italia.
Saat Platini bermain membela Prancis pada partai uji coba melawan Italia, Februari 1982, Giovanni Agnelli, pemilik pabrikan otomotif Fiat, menginginkan sang pemain untuk membela klubnya, Juventus. Permintaan khusus Agnelli terwujud usai Piala Dunia 1982. Platini bergabung bersama pemain Polandia yang bersinar di Spanyol'82, Zbigniew Boniek. Meski pada awalnya kesulitan beradaptasi dengan lingkungan barunya, Platini menjelma salah satu pemain terhebat Juventus.
Platini berada di puncak karirnya dan menjadi pemain terbaik di dunia. Penghargaan Ballon d'Or dan capocannonieri dua tahun beruntun, 1983 dan 1984, sukses diraihnya. Musim 1984/85 menjelang, Platini ditantang untuk kembali mengerahkan sihirnya.
Terkecuali di liga, segalanya berjalan lancar bagi Platini dan Juventus. Akibat skandal suap yang marak terjadi di Serie A awal 1980-an, calcioscommesse, penugasan wasit dilakukan secara acak. Sebelumnya, wasit untuk sebuah pertandingan ditunjuk oleh komisi perwasitan, designatori arbitrali.
Kebijakan baru tersebut melahirkan juara baru Italia, Hellas Verona, yang sukses mengungguli Juventus, Inter, dan Milan. Posisi kedua ditempati Torino, sedangkan Juventus terduduk di posisi kelima klasemen akhir Serie A. Selisih poin Juve cukup lebar dari Verona di puncak klasemen, yaitu tujuh poin.
Tidak demikian halnya dengan Platini, yang lagi-lagi sukses mempertahankan gelar capocannonieri.
Tidak demikian pula dengan kiprah Juve di Piala Champions. Tanpa kesulitan Juve melalui babak pertama dan kedua dengan melibas juara Finlandia, Tampere United, dengan agregat 6-1 dan Grashopper, dari Swiss, dengan agregat 6-2. Si Nyonya Tua kemudian menekuk Sparta Praha, agregat 3-1, untuk bertemu Girondins Bordeaux pada semi-final.
Bordeaux, klub asal negerinya Platini, nyaris menjadi batu sandungan Juve. Kalah 2-0 di kandang lawan, Juve mampu melaju ke laga puncak setelah membalas 3-0 di Turin. Partai final adalah final impian. Juve bertemu Liverpool, tim yang berupaya mempertahankan gelarnya, di stadion Heysel, Belgia.
Final Piala Champions 1984/1985, 29 Mei, stadion Heysel. Sepakbola dunia berkabung. Sejam sebelum pertandingan Juventus melawan Liverpool, pendukung kedua tim bentrok. Akibatnya, 39 fans, kebanyakan tifosi Juve, kehilangan nyawa.
Kick-off sempat tertunda selama satu setengah jam dan wasit Andre Daina memutuskan pertandingan tetap dilangsungkan demi menghindari kerusuhan yang dikhawatirkan terjadi jika laga ditunda. Dua kapten tim, Scirea dan Phil Neal, meminta fans masing-masing bersikap tenang.
Dalam biografinya, presiden Agnelli mengakui, memberi instruksi agar kamar ganti tim dikunci rapat-rapat untuk melindungi keselamatan para pemain, dan juga kabar muram tewasnya puluhan pendukung.
Partai final impian tertutup musibah mengerikan. Satu-satunya gol yang tercipta melalui eksekusi penalti Platini, setelah pelanggaran Gary Gillespie terhadap Boniek, pada menit ke-56. Kedudukan 1-0 untuk Juventus bertahan hingga akhir pertandingan.
Sukses tersebut menjadikan Juventus klub Eropa pertama yang menjuarai semua kejuaraan Eropa, Piala Champions, Piala Winners, dan Piala UEFA. Akhir 1985, Trapattoni melengkapinya dengan gelar Piala Interkontinental setelah mengalahkan Argentinos Juniors melalui adu penalti, 6-4 (2-2). Platini mencetak gol pertama melalui eksekusi penalti dan menjadi eksekutor penentu pada adu penalti untuk membawa Juve meraih gelar dunia pertamanya.
Seperti pada dua kesempatan sebelumnya, Platini kembali sukses meraih Ballon d'Or dan capocannonieri. Luar biasa. Dunia akan mengenang belum ada lagi pemain yang berposisi sebagai gelandang menggondol Ballon d'Or dan capocannonieri Serie A untuk tiga tahun beruntun, 1983, 1984, dan 1985.
Sayangnya, sukses tersebut seakan terselimuti insiden yang mewarnai partai final 1985, Tragedi Heysel. Terkadang, sepakbola bukan segalanya. Di tengah kedukaan, UEFA menjatuhkan sanksi larangan lima tahun bagi klub-klub Inggris untuk berlaga di semua kompetisi Eropa.
Saat Juventus bertemu lagi dengan Liverpool pada perempat-final Liga Champions 2005, The Kop menyampaikan pesan perdamaian dengan membentangkan kertas-kertas yang membentuk kata "Amiczia" atau "persahabatan" dalam bahasa Italia. Meski ada yang menyesalkan ungkapan ini baru terjadi 20 tahun setelah kejadian, sebagian fans Juve mau menghargainya.
Platini pensiun 1987, saat berusia 32 tahun, atau semusim setelah kepindahan Trapattoni ke Inter. Perubahan itu menandai akhir salah satu periode emas Juventus. Untuk beberapa saat, sejak 1985/86, Juve puasa scudetto hingga akhirnya Marcello Lippi membuka kembali periode baru kegemilangan Si Nyonya Tua dengan gelar Serie A, sembilan musim kemudian.
"Hari yang menyedihkan. Salah satu anugerah dari Tuhan kepada kami datang dan telah pergi. Platini akan selalu dikenang sebagai salah satu pemain terhebat Juventus," ujar Agnelli saat mengucapkan selamat pensiun kepada sang maestro.
No comments:
Post a Comment